
Penulis adalah ETAR.T, S.IP, pemerhati politik dan kebijakan publik”
Fenomena politik di tingkat akar rumput Indonesia belakangan ini menunjukkan gejala yang kian terfragmentasi. Jika dulu masyarakat bisa dihimpun oleh narasi besar atau ikatan ideologis, kini basis dukungan terbelah dalam kelompok-kelompok kecil dengan agenda berbeda. Hal ini dapat dilihat dari semakin maraknya komunitas, organisasi, hingga jaringan informal yang bergerak dengan kepentingan spesifik, sehingga sulit menyatukan suara rakyat ke dalam satu arah kolektif.
Menurut pengamatan banyak pihak, pemerintah memang menghadirkan sejumlah program populis yang diklaim berpihak pada rakyat. Namun, program semacam itu lebih sering menjawab kebutuhan jangka pendek dan tidak membangun narasi pemersatu. Alih-alih memperkuat solidaritas sosial, kebijakan itu kerap menimbulkan kesan adanya kelompok yang diuntungkan dan kelompok lain yang merasa terpinggirkan.
Sejumlah pengamat juga menilai praktik politik uang masih menjadi tantangan serius dalam setiap kontestasi elektoral. Masyarakat akar rumput, yang seharusnya menjadi subjek utama demokrasi, justru sering diposisikan sebagai objek transaksi. Pemerintah tampak lebih menonjolkan retorika keberhasilan pembangunan, sementara literasi politik masyarakat belum benar-benar disentuh secara mendalam.
Kondisi ini membuat politik akar rumput berisiko kehilangan substansi. Orientasi masyarakat cenderung bergeser ke arah pragmatisme sesaat: siapa yang mampu memberi keuntungan instan, dialah yang mendapat dukungan. Padahal, esensi demokrasi seharusnya mendorong partisipasi yang sadar, kritis, dan berorientasi pada kepentingan kolektif.
Jika situasi ini terus berlangsung, maka politik rakyat bisa semakin jauh dari cita-cita sejatinya: memperjuangkan keadilan, kesejahteraan, dan persatuan bersama.


Tidak ada komentar